Di tengah kinerja penerimaan pajak yang terus mengalami penurunan, rasanya tax amnesty tentu menjadi jalan pintas yang mungkin akan dipertimbangkan oleh pemerintah agar target penerimaan pajak dapat tercapai sesuai target.
Secara ketentuan sepertinya wacana penyelenggaraan tax amnesty sangat mungkin dilaksanakan untuk ke tiga kainya. Hal ini memungkinkan mengingat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi memasukkan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Namun apakah kebijakan ini dirasa ideal dan berkeadilan?
Tax amnesty pertama yang diselenggarakan pada 2016-2017 berhasil mengumpulkan dana tebusan sebesar Rp114,02 triliun, sekitar 69% dari target Rp165 triliun. Nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp3.676 triliun dan harta luar negeri sebesar Rp1.031 triliun. Namun, repatriasi pajak hanya mencapai Rp147 triliun dari target Rp1.000 triliun, atau tidak sampai 20%. Angka-angka ini menunjukkan bahwa walau secara nominal terlihat besar, keberhasilan tax amnesty masih jauh dari maksimal, terutama dalam mendorong repatriasi aset dan pengungkapan kekayaan secara jujur dan penuh oleh wajib pajak.
Alih-alih memperkuat sistem perpajakan dan penegakan hukum, pemerintah tampak menggunakan tax amnesty sebagai jalan pintas demi menambal kekurangan penerimaan negara. Kondisi penerimaan pajak yang melemah pada kuartal awal 2025 dan banyaknya proyek besar yang membutuhkan pembiayaan justru memperkuat dugaan bahwa tax amnesty digunakan sebagai alat darurat fiskal, bukan solusi struktural.
Pertanyaan yang tak bisa dielakkan adalah: siapa yang paling diuntungkan dari kebijakan ini? Harapan bahwa tax amnesty akan berdampak luas dan adil ternyata berbanding terbalik dengan realitasnya. Warga negara dari kelas menengah dan bawah tak banyak merasakan manfaatnya. Justru para pengemplang pajak dari kalangan elitlah yang disambut dengan karpet merah. Mereka diberikan tarif tebusan yang jauh lebih rendah dari tarif normal, bahkan terkesan diberi penghargaan atas ketidakpatuhan mereka.
Kebijakan ini pun memberi sinyal yang keliru kepada wajib pajak yang selama ini patuh. Mereka melihat adanya ketidakadilan yang terang-terangan: pelanggar justru mendapat diskon, sedangkan mereka yang taat tetap dibebani kewajiban tanpa insentif. Persepsi ini bisa berdampak fatal pada kepatuhan pajak secara jangka panjang. Jika pengemplang selalu diampuni lewat tax amnesty, maka apa gunanya patuh sejak awal?
Tax Amnesty Coreng Reputasi Fiskal
Lebih jauh lagi, tax amnesty mencoreng reputasi fiskal negara. Kebijakan ini menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menegakkan aturan perpajakan secara konsisten dan menyeluruh. Investor internasional dapat meragukan kestabilan dan kredibilitas fiskal Indonesia. Ketika negara terlalu sering mengandalkan tax amnesty, hal itu menandakan absennya sistem yang kuat untuk mencegah dan menindak penghindaran pajak.
Dalam bahasa lain, tax amnesty di Indonesia telah berkembang menjadi kebijakan eksesif—lebih didorong oleh kepentingan jangka pendek daripada komitmen terhadap keadilan pajak dan reformasi struktural. Penyusunannya tidak menunjukkan arah fiskal yang jelas dan berorientasi jangka panjang, serta mempertegas bahwa masyarakat kelas menengah-bawah kerap dijadikan korban dari kompromi fiskal terhadap elit.
Tax Amnesty Coreng Keadilan
Penyelenggaraan tax amnesty jilid ketiga pun sempat direncanakan berbarengan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Walau kebijakan kenaikan PPN tersebut tidak jadi dilaksanakan, narasi yang sempat terbentuk menciptakan persepsi ketimpangan yang akut. Masyarakat menilai kombinasi wacana ini menciptakan ketidakadilan: para pengemplang diberi insentif, sementara beban pajak justru dialihkan kepada masyarakat umum.
Kelas menengah ke bawah adalah pihak yang paling terpapar dampak kebijakan regresif seperti PPN. Kenaikan PPN akan langsung meningkatkan harga barang dan jasa yang mereka konsumsi, sementara kelompok elit mendapatkan pengampunan atas utang pajaknya. Ketimpangan seperti ini mencederai prinsip keadilan pajak yang seharusnya berpihak pada redistribusi kekayaan dan perlindungan kelompok rentan.
Sebagai gantinya, pemerintah semestinya mencari jalan lain. Diversifikasi basis pajak menjadi hal yang krusial. Pajak kekayaan, pajak atas aset tak bergerak yang besar, pajak karbon, atau bentuk pajak progresif lainnya dapat menjadi alternatif. Kebijakan pajak tidak boleh hanya difokuskan pada angka penerimaan, tapi harus mempertimbangkan efek jangka panjang terhadap kesetaraan dan legitimasi sistem perpajakan itu sendiri.
Selain itu, alokasi penerimaan pajak juga perlu diarahkan pada program-program yang benar-benar menyasar peningkatan kesejahteraan rakyat. Infrastruktur sosial, jaminan kesehatan, pendidikan publik, dan bantuan langsung tunai adalah contoh program yang bisa memperkuat hubungan antara negara dan warga. Rasa memiliki terhadap pajak akan tumbuh ketika masyarakat melihat pajaknya kembali dalam bentuk pelayanan yang konkret.
Dalam jangka panjang, tax amnesty berisiko menurunkan moral fiskal dan menciptakan budaya ketidakpatuhan. Ketika pelanggaran justru diberi insentif, maka norma kolektif untuk patuh terhadap pajak melemah. Negara yang kuat bukanlah negara yang memaafkan pelanggaran berulang kali, melainkan yang membangun sistem kepatuhan yang kredibel dan adil.
Pada akhirnya, sistem perpajakan yang adil bukan hanya tentang menaikkan penerimaan negara, tetapi juga tentang memastikan semua warga negara menanggung beban fiskal secara proporsional dan adil. Menguak ekses kebijakan tax amnesty adalah langkah awal untuk mempertanyakan arah kebijakan fiskal kita: apakah kita membangun sistem yang kuat dan adil, atau terus terjebak dalam kompromi terhadap ketidakpatuhan?
Jika pemerintah ingin menjaga legitimasi sistem perpajakan dan memperkuat fondasi fiskal jangka panjang, maka tax amnesty bukanlah jawabannya. Diperlukan reformasi mendasar—bukan pengampunan berkala—untuk menjadikan pajak sebagai alat pemerataan dan kemajuan bersama.