Seiring berkembangnya zaman, banyak perusahaan yang membentuk grup usaha dalam rangka ekspansi maupun efisiensi. Tidak sedikit pula perusahaan-perusahaan di dalam satu grup usaha saling bertransaksi. Sebetulnya, transaksi tersebut dapat dilandasi oleh berbagai pertimbangan, misalnya, untuk kemudahan, maupun alasan ekonomis semata. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa transaksi intra-grup tersebut juga dilatarbelakangi oleh perilaku oportunistik berupa penghematan pajak.
Bagaimana penghematan pajak tersebut bisa terjadi? Sebagai contoh, terdapat PT A yang memiliki anak usaha di Singapura, yaitu B Ltd. PT A kemudian berkontrak dengan B Ltd dan berdasarkan kontrak tersebut, PT A harus membayar tagihan ke B Ltd sebesar 100 USD. Melalui transaksi tersebut, PT A memperoleh penghematan pajak sebesar 5 USD yang diperoleh dari perhitungan sbb.:
- 100 USD menjadi biaya pengurang penghasilan kena pajak PT A sehingga tidak dikenai PPh Badan dengan tarif 22%. Apabila tidak ada biaya tersebut, PPh terutang PT A di Indonesia seharusnya sebesar 22 USD (22% x 100 USD).
- Karena menjadi penghasilan B Ltd, penghasilan tersebut dipajaki di Singapura dengan tarif 17% sehingga menimbulkan pajak terutang di Singapura sebesar 17 USD (17% x 100 USD).
- Jika dibandingkan, seharusnya pajak terutang PT A adalah 22 USD, namun karena terjadi pergeseran penghasilan ke B Ltd, pajak yang terutang menjadi 17 USD. Hal ini menimbulkan penghematan pajak sebesar 5 USD di sisi PT A (22 USD – 17 USD).
Transaksi di atas merupakan salah satu contoh dari praktik transfer pricing. Di dalam konteks perpajakan, praktik transfer pricing tersebut dirinci oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) untuk menutup perilaku oportunistik para Wajib Pajak dalam mencari penghematan pajak. Di dalam pedoman OECD, terdapat tiga jenis koreksi transfer pricing, yaitu 1) Primary adjustment, 2) Secondary adjustment, dan 3) Corresponding Adjustment. Pada artikel kali ini, fokus pembahasan adalah di poin 1 dan 2 karena kedua koreksi tersebut yang seringkali digunakan oleh otoritas pajak di Indonesia.
Konsep Primary dan Secondary Adjustment di OECD Transfer Pricing Guidelines 2022
OECD mendefinisikan primary adjustment dan secondary adjustment di bagian glossary OECD transfer pricing guidelines 2022, sbb.:
- Primary adjustment, an adjustment that a tax administration in a first jurisdiction makes to a
company’s taxable profits as a result of applying the arm’s length principle to
transactions involving an associated enterprise in a second tax jurisdiction. - Secondary adjustment, an adjustment that arises from imposing tax on a secondary transaction. Secondary transaction is a constructive transaction that some jurisdictions will assert under their domestic legislation after having proposed a primary adjustment in order to
make the actual allocation of profits consistent with the primary adjustment. Secondary transactions may take the form of constructive dividends, constructive equity contributions, or constructive loans.
Mengacu ke definisi di atas, primary adjustment adalah koreksi pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak setempat atas penghasilan atau biaya Wajib Pajak sebagai akibat dari penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKPU) atau Arm’s Length Principle (ALP). ALP itu sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai prinsip panjang lengan, artinya, transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa harus sebanding nilainya dengan transaksi ke pihak independen.
Sementara itu, secondary adjustment adalah koreksi yang timbul sebagai akibat dari primary adjustment. Berdasarkan definisi tersebut, jika terdapat primary adjustment, penghasilan kena pajak suatu Wajib Pajak akan meningkat (bisa karena koreksi positif di penghasilan atau koreksi negatif di biaya). Di secondary adjustment, peningkatan penghasilan tersebut dapat dimasukkan sebagai dividen, kontribusi di ekuitas, atau pinjaman.
Penerapan Primary Adjustment dan Secondary Adjustment di Indonesia
Primary Adjustment
Pengaturan terkait primary adjustment diterapkan di Pasal 18 ayat (3) UU PPh (UU No. 7/1983 s.t.d.t.d UU No. 7/2021). Melalui Pasal tersebut, pemerintah memberikan kewenangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa sesuai dengan prinsip ALP.
Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 172/2023 kembali menekankan terkait primary adjustment tersebut, khususnya di Pasal 36 ayat (1) sebagaimana dikutip di bawah ini.
“Pasal 36
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.” (PMK 172/2023)
Secondary Adjustment
PMK 172/2023 mengadopsi pengaturan secondary adjustment di Pasal 37 ayat (1) huruf b sebagaimana dikutip di bawah ini.
“Pasal 37
(1) Dalam hal:
b. Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditemukan selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, selisih tersebut merupakan pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen.” (PMK 172/2023)
Mengacu ke Pasal 37 ayat (1) huruf b PMK 172/2023, jika terdapat selisih atau koreksi dari DJP sehubungan dengan penerapan ALP, selisih tersebut dianggap sebagai pembagian laba atau dividen ke pihak afiliasi. Apa dampaknya?
- Apabila Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) bertransaksi dengan pihak afiliasi yang juga merupakan WPDN, tidak ada dampak koreksi tambahan karena dividen untuk WPDN Badan merupakan non-objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh. Namun demikian, pengecualian dividen ini masih menjadi pokok perdebatan antara DJP dengan Wajib Pajak karena adanya Pasal 24 PMK 18/2021 yang mensyaratkan adanya RUPS untuk pengecualian dividen dari objek PPh. Meski demikian, jika ditinjau dari asas hukum lex superior derogat legi inferiori (Ketentuan yang derajatnya lebih tinggi membatalkan hukum di peraturan yang lebih rendah), dividen ke WPDN Badan seharusnya dikecualikan dari objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh.
- Dampak koreksi akan dirasakan oleh WPDN jika bertransaksi dengan pihak afiliasi yang merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Alasannya adalah karena pembayaran dividen merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 oleh WPDN. Dengan dikenakannya secondary adjustment, artinya ada dividen yang seharusnya dibayarkan dan dipotong PPh Pasal 26-nya oleh WPDN. Sebagai hasil dari secondary adjustment tersebut, DJP dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan WPDN harus membayar PPh Pasal 26 terutang beserta sanksinya.
Sesuai Pasal 37 ayat (4) PMK 172/2023, secondary adjustment tersebut dapat tidak berlaku jika:
- terjadi penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih/koreksi; dan/atau
- Wajib Pajak menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh DJP.
Sebelum PMK 172/2023 berlaku, secondary adjustment tersebut juga telah diatur di Pasal 22 ayat (8) PMK 22/PMK.03/2020 yang dicabut oleh PMK 172/2023.