Indonesia menghadapi dilema fiskal, di satu sisi penerimaan negara melemah (realisasi sampai akhir Februari 2025 tercatat Rp316,9 triliun) seiring turunnya harga komoditas, sementara di sisi lain ekonomi digital tumbuh pesat namun belum sepenuhnya masuk ke dalam jangkauan perpajakan domestik. Kondisi ini menegaskan bahwa basis pajak kita rentan jika tidak ada upaya diversifikasi sumber penerimaan.
Pertumbuhan ekonomi digital menyimpan peluang besar untuk memperluas basis pajak nasional. Perkiraan nilai ekonomi digital Indonesia pada 2030 mencapai ratusan miliar dolar AS menurut laporan sektor, dan platform global dari mesin pencari, layanan berlangganan, jejaring sosial hingga penyedia aplikasi dan komputasi awan telah meraih pangsa pasar signifikan di Indonesia. Namun pemajakan laba (PPh Badan) atas kegiatan bisnis mereka sulit ditegakkan karena banyak dari perusahaan tersebut tidak memiliki kantor fisik atau bentuk usaha tetap di dalam negeri; selama ini pemungutan pajak lebih banyak terbatas pada PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang diberlakukan sejak 2020.
Ada dua akar masalah utama. Pertama, sistem perpajakan tradisional masih sangat bergantung pada keberadaan fisik sebagai basis pengenaan, sedangkan model bisnis digital memungkinkan perusahaan mendapat pendapatan besar tanpa kehadiran fisik yang jelas di suatu negara. Paradigma pajak yang menuntut kehadiran fisik sudah ketinggalan zaman di era digital.
Perubahan regulasi diperlukan untuk menyelesaikan dua akar masalah utama yang telah disebutkan sebelumnya. Definisi bentuk usaha tetap (BUT) dalam undang-undang pajak penghasilan harus disesuaikan dengan karakter ekonomi digital, misalnya melalui konsep significant economic presence (SEP) yang sudah disinggung dalam UU No. 2/2020 dan harmonisasi aturan perpajakan. Namun penerapan SEP menghadapi tantangan teknis, khususnya dalam merumuskan nexus atau keterikatan ekonomi yang dapat dipertahankan secara hukum. Beberapa pejabat publik menegaskan pentingnya langkah ini, mereka berpendapat bahwa kedaulatan pemajakan tidak boleh hilang hanya karena perusahaan tidak mempunyai keberadaan fisik di tanah air dan bahwa masalah utama sering bukan soal kemauan membayar, melainkan kepastian regulasi.
Kedua, instrumen yang sekarang efektif hanya memungut PPN lewat PMSE sebagaimana diatur PMK No.48/PMK.03/2020, sehingga penerimaan baru terjaga pada sisi konsumsi. Sementara itu, potensi pemajakan atas laba perusahaan digital yang merupakan sumber penerimaan lebih besar belum dimanfaatkan optimal. Dengan kata lain, kebijakan pajak digital kita masih pada tahap peralihan yaitu berhasil menagih PPN konsumsi digital, tetapi belum berhasil mengenakan PPh Badan terhadap perusahaan digital asing.
Untuk reformasi ke depan, kombinasi langkah domestik dan sikap aktif pada perjanjian internasional diperlukan. Secara domestik, Indonesia bisa memperjelas definisi nexus melalui aturan pelaksana SEP dan menunjuk platform atau marketplace sebagai pemungut pajak untuk memberi kepastian administrasi. Secara multilateral, Indonesia sebaiknya terus mendorong implementasi Pilar 1 OECD agar hak pemajakan dialokasikan lebih adil berdasarkan lokasi pengguna.
Sementara menunggu konsensus global, pilihan transisional layak dipertimbangkan misalnya pajak jasa digital (Digital Services Tax/DST) yang menargetkan pendapatan dari pasar domestik dengan ambang tertentu sehingga hanya menyasar pemain besar dan melindungi usaha kecil. Beberapa negara Eropa dan negara lain telah menerapkan DST atau skema serupa dengan tarif dan ambang yang beragam. Pengalaman mereka menunjukkan DST bisa jadi sumber pendapatan sementara sekaligus menekan risiko pembalasan dagang jika dirancang sementara (sunset clause) dan tarifnya moderat. Selain itu, perluasan definisi SEP agar mencakup layanan streaming, penyedia iklan, dan intermediasi digital serta penetapan platform sebagai pihak pemungut (withholding agent) untuk keperluan pelaporan dan pemotongan, akan memperkuat kemampuan administrasi pajak.
Akhirnya, tujuan reformasi bukan sekadar menambah penerimaan, melainkan mengupayakan level playing field antara pelaku usaha lokal dan raksasa digital asing. Selama perusahaan global dapat beroperasi tanpa kewajiban PPh di Indonesia, pelaku usaha domestik dirugikan. Pertanyaannya adalah apakah semua pemangku kepentingan mau bersinergi demi memperkuat kedaulatan fiskal negara?