Ringkasan Jawaban:
Pembahasan Lengkap:
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (“PKP”) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan PPN.
Faktur Pajak harus dibuat untuk setiap transaksi yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU PPN”), yaitu:
“Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.”
(Pasal 13 ayat (1) UU PPN)
Lalu, kapan PKP harus membuat Faktur Pajak?
Waktu pembuatan Faktur Pajak diatur pada Pasal 13 ayat (1a) UU PPN yang berbunyi:
“Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”
(Pasal 13 ayat (1a) UU PPN)
Namun, untuk pedagang eceran, berlaku ketentuan khusus yaitu pedagang eceran dapat membuat 1 Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan selama 1 bulan kalender sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU PPN.
“Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.”
(Pasal 13 ayat (2) UU PPN)
Faktur Pajak gabungan tersebut dibuat harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (2a) UU PPN.
Keterlambatan membuat faktur pajak akan menimbulkan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP) oleh DJP. Pasal 14 ayat (1) huruf d UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU KUP”) menyebutkan DJP dapat menerbitkan STP apabila PKP tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak.
“Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat Faktur Pajak;”
(Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP)
Kemudian, dalam Pasal 14 ayat (4) UU KUP disebutkan bahwa bagi PKP yang tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, PKP juga akan dikenai sanksi denda sebesar 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (“DPP”).
“Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.”
(Pasal 14 ayat (4) UU KUP)
Dengan demikian, apabila penjualan dilakukan pada tahun 2020, namun faktur pajak baru akan dibuatkan pada tahun 2021 jelas menyalahi ketentuan pembuatan faktur pajak Pasal 13 ayat (1a) UU PPN. Atas keterlambatan tersebut Sobat Pratama akan dikenakan sanksi denda sebesar 1% dari DPP dan juga harus menyetorkan PPN yang terutang pada kas negara.