Ringkasan Jawaban
Untuk mencegah terjadinya pemajakan berganda, Indonesia memiliki kebijakan kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh. Ketentuan di dalam Pasal 24 memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengkreditkan PPh yang telah dipotong di luar negeri untuk mengurangi beban pajak yang dibayarkan di Indonesia. Seluruh penghasilan yang berasal dari luar negeri dan telah dipotong pajaknya di luar negeri tetap dapat dikreditkan di Indonesia tanpa melihat ada atau tidaknya tax treaty antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Penjelasan Lengkap
Terima kasih Bapak Denny atas pertanyaannya. Sistem perpajakan Indonesia menganut konsep worldwide income, artinya penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Atas pengasilan dari luar Indonesia tersebut, sangat dimungkinkan terjadi pemajakan berganda, misalnya ketika penghasilan tersebut telah dipotong pajak juga di negara sumber. Untuk mencegah terjadinya pemajakan berganda, Indonesia memiliki kebijakan kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU PPh”)
Pasal 24 ayat (1) UU PPh sebagaimana dikutip di bawah ini.
“Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama” (Pasal 24 ayat (1) UU PPh)
Lebih lanjut, ketentuan kredit pajak luar negeri diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 192/PMK.03/2018 (“PMK-192/2018”). Ketentuan di dalam Pasal 24 tersebut memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengkreditkan PPh yang telah dipotong di luar negeri untuk mengurangi beban pajak yang dibayarkan di Indonesia dengan syarat PPh luar negeri tersebut dikreditkan pada Tahun Pajak dilakukannya penggabungan penghasilan dari dalam negeri dan penghasilan luar negeri itu sendiri.
Baik ketentuan dalam Pasal 24 UU PPh maupun ketentuan dalam PMK-192/2018, keduanya tidak mengatur lebih detil penghasilan dari negara mana saja yang boleh dikreditkan di Indonesia. Dengan demikian, seluruh penghasilan yang berasal dari luar negeri dan telah dipotong pajaknya di luar negeri tetap dapat dikreditkan di Indonesia tanpa melihat ada atau tidaknya tax treaty antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Namun, dalam Pasal 6 ayat (4) PMK-192/2018 ditentukan bahwa:
“Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
a. Jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif
b. Jumlah PPh Luar Negeri
c. Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang tersebut.”
(Pasal 6 ayat (4) PMK-192/2018)
PPh yang telah dipotong di luar negeri tidak dapat dikreditkan seluruhnya, melainkan ada batasan terhadap jumlah PPh yang dapat dikreditkan dalam perhitungan PPh yang terutang di Indonesia.
Dengan demikian, selama memenuhi ketentuan Pasal 24 UU PPh dan PMK-192/2018, PPh yang telah dipotong di luar negeri dapat dikreditkan di Indonesia tanpa melihat ada atau tidaknya tax treaty antara Indonesia dengan negara yang telah memotong PPh luar negeri.